——————————————–
Saya lahir di lingkungan homogen, bagaimana dengan Anda?
——————————————–
Saya lahir di suatu desa pelosok Cianjur Jawa Barat. Tak pelosok-pelosok amat sih, karena jarak dari jalan raya Cianjur – Bandung hanya sekitar 5 km saja. Tapi kondisi tahun 1970-an, kawasan itu masih pelosok dan serba kekurangan. Saat itu, Sungai Citarum masih menebarkan aroma mistiknya. Anak sungainya adalah tempat bermain saya pada masa kecil.
Sejak lahir itu, lingkungan di sekitar saya sangat homogen. Sunda dan muslim. Tak ada yang lain. Tidak ada Jawa, Batak, Minang, Bali dan lainnya. Tidak ada juga Kristen, Katolik, apalagi Hindu dan Budha. Sangat homogen. Heterogennya masyarakat hanya bisa dilihat di buku-buku pelajaran yang menyebutkan betapa bhinekanya bangsa ini. Heterogen juga saya ketahui dari lagu Rhoma Irama, si raja dangdut yang digemari oleh ayah saya. Lagunya kerap mengalun nyaris setiap hari mengiringi aktivitas pekerjaan ayah dan timnya sebagai penjahit. Suara musik Rhoma cukup keras mengalahkan bunyi mesin jahit tradisional yang seperti dikayuh kedua kaki.
“135 juta penduduk Indonesia… Terdiri dari banyak suku bangsa itulah Indonesia… Ada Sunda, ada Jawa, Aceh, Padang, Batak, dan banyak lainnya…”
Pada 1970-an itu, jumlah penduduk Indonesia baru sekitar 135 juta orang. Begitu catatan bang Haji Rhoma. Meski kala itu, setiap mendengar lagu tersebut, saya tak terlalu memahaminya. Maklum, masih amat belia.
Beranjak sekolah dasar saya pindah ke Ciawi Bogor. Nyaris sama kondisinya dengan tempat kelahiran saya di Cianjur. Homogen: Sunda dan muslim. Hanya ada satu dua orang Jawa yang merantau sebagai kuli bangunan. Kebetulan ada proyek pembangunan gedung pemerintahan di desa saya. Maka, selama di sekolah dasar pergaulan saya adalah dengan teman se-Sunda dan se-Muslim.
Barulah ketika masuk SMP, homogennya pergaulan saya sedikit berubah. Orang Jawa lebih banyak. Ketemu juga dengan orang Bali. Bukan hanya muslim tapi juga Kristen dan Hindu. Mata dan kepala mulai memikirkan suatu yang berbeda.
“Benarkah kata buku bahwa Indonesia beragam?”
Tetap saja belum bisa dikatakan heterogen karena lingkungan yang berbeda itu hanya segelintir saja. Cara pandang saya terhadap negara Indonesia, masih relatif sama seperti sebelumnya. Indonesia adalah Sunda dan Islam, karena mayoritas lingkungan saya demikian. Cara pandang itu tentu diperkuat oleh nilai-nilai hidup yang menyertainya. Pelajaran toleransi di mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) belum sepenuhnya dipahami. Sebagian besar hanya barisan kata-kata berupa teori.
“Kita harus menghargai perbedaan…”
“Kita harus menghormati agama lain…”
Dan sebagainya.
Sampai SMP itu, sungguh saya belum sepenuhnya sadar dan menyadari bahwa saya hidup di negeri yang penduduknya amat beragam. Berbeda suku, agama, ras, budaya, dan latar belakang lainnya. Saya belum paham beda negeri ini dengan Malaysia, Brunai, Singapura, Filipina, Thailand atau Australia. Negara-negara tetangga yang paling sering disebut di buku-buku atau di TVRI. Saya merasa Indonesia sama saja dengan mereka. Sama-sama negara merdeka dan berdaulat.
Sungguh, cara pandang saya – anak usia belasan – terhadap bangsanya masih selevel itu: Indonesia adalah Sunda dan Islam.
Orang yang berlatar belakang non-Sunda dan non-Islam hanya ngontrak hehe…
Bagaimana dengan Anda?
Apakah Anda dilahirkan di tempat homogen seperti saya atau di lingkungan yang heterogen?
Anda beruntung kalau sejak kecil sudah terbiasa hidup di lingkungan heterogen. Cara pandang Anda pasti berbeda dengan saya pada masa belia.
Keberuntungan saya muncul pada saat memasuki bangku SMA. Saya mengalami shock luar biasa. Bolehlah disebut cultural shock atau nations shock atau gegar yang lainnya. Pada saat itu, sekonyong-konyong saya dihadapkan pada lingkungan baru yang benar-benar heterogen: Indonesia yang sesungguhnya.
——————————————–
Ketemu Saudara Baru dari 27 Provinsi
——————————————–
Babak baru dalam kehidupan saya ketika memasuki masa SMA. Benar-benar baru. Saya beruntung mendapatkan beasiswa penuh bersekolah di SMA Taruna Nusantara Magelang pada tahun 1990. Di sana, saya berjumpa, bergaul, dan hidup selama 3 tahun penuh berasrama, dengan kawan, sahabat, dan saudara sebangsa setanah air dari 27 provinsi, dari puluhan suku bangsa berbeda, dan beragam latar agama.
Sungguh, saya terkaget-kaget ketika pertama kali berjumpa dengan kawan baru asal Papua, Timor, dan NTT. Ketika bersalaman dan berkenalan, tangannya kekar dan intonasi bicaranya pun berbeda. Terdengar unik. Begitu banyak perbedaan antara kami. Saya orang Sunda yang cenderung lembut. Dia orang Indonesia timur yang sekilas berkarakter kokoh dan ‘serem’ hehe.
Eh ternyata setelah beberapa hari bergaul, teman ini hatinya jauh lebih lembut dibanding saya dan kebanyakan kami. Ramah dan sopannya pun minta ampun. Tapi memang, urusan fisik dia kuat sekali. Di atas rata-rata. Sekian lama bergaul, justru perbedaan itu menjadi pelangi yang indah. Kami dapat hidup harmonis sebagai saudara. Sampai detik ini.
Begitu pun ketika berjumpa dengan orang Batak dan Makassar. Perbedaan budaya membuat awalnya saya terkejut. Pada saat berkenalan, suaranya keras sekali. Hampir saya tutup kuping. Saya baru tahu kalau sebagian orang Batak kalau bicara sangat keras. Meski jarak kami berdekatan. Sementara saya, orang Sunda… ya itu tadi cenderung halus dan pelan. Terjadilah konflik kecil antara kami. Walaupun akhirnya, kami tertawa-tawa kemudian.
Tak cukup satu buku untuk mengungkapkan betapa serunya pertemuan pertama saya dengan saudara baru yang berasal dari Aceh, Batak, Karo, Melayu, Minang, Bengkulu, Lampung, Jawa, Betawi, Tionghoa, Dayak, Banjar, Madura, Bali, Sasak, Timor, Alor, Solor, Bugis, Makassar, Manado, Minahasa, Ambon, Maluku, Papua, dan lain-lain. Pertama kali pula berjumpa dan bergaul secara dekat dengan mereka yang beragama Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha.
Betapa membuka mata dan telinga saya yang saat itu baru berusia 15 tahun, tentang Indonesia. Indonesia yang sangat beragam. Indonesia yang benar-benar Bhineka Tunggal Ika. Bukan katanya, bukan menurut buku, bukan cerita guru. Saya mengalami dengan mata, telinga, seluruh panca indera dan hati, serta sekujur tubuh, bergaul, berinteraksi, dan hidup selama lebih dari 1.000 hari dalam kebhinekaan itu.
Saya makan bersama mereka. Saya belajar bersama mereka. Saya tidur dalam satu atap bersama mereka. Bahkan saya mandi di tempat dan waktu yang sama dengan mereka. Kami berjuang bersama, senang dan sedih bersama. Segala hal kami lakukan bersama. Bisa, memang bisa seperti keyakinan para pendiri bangsa, meski kami berbeda asal dan latar, ternyata bisa hidup bersama secara harmonis.
Cara pandang saya terhadap Indonesia, berubah 180 derajat. Saya yang awalnya memandang Indonesia sebagai Sunda dan Muslim, saat itu mengakui dan mengubah secara sadar, bahwa Indonesia itu milik beragam suku bangsa, ras, agama, dan berbagai latar belakang yang berbeda lainnya. Indonesia juga mulai dari Aceh sampai Papua, Talaud sampai pulau Rote. Indonesia itu Bhineka Tunggal Ika. Indonesia itu bukan hanya milik satu dua kelompok atau golongan saja.
Selama tiga tahun pula, saya dan 280 kawan seangkatan mendapatkan mata pelajaran khusus yang tidak diperoleh siswa SMA lain: Wawasan Nusantara. Pengajarnya seorang kolonel angkatan udara dan seorang guru senior Taman Siswa. Kami dijejali dengan teori Wawasan Nusantara; wawasan kebangsaan, wawasan kejuangan, dan wawasan kebudayaan. Bayangkan, tiga tahun secara terus menerus. Dan bukan hanya teori, karena dalam kehidupan sehari-hari saya langsung mempraktikannya bersama siswa yang berasal dari 27 provinsi, dari beragam suku bangsa, beraneka agama, dan 1001 perbedaan lainnya.. Praktik secara langsung dalam kehidupan nyata untuk saling menghormati, menghargai, toleransi, empati, solidaritas, kebersamaan, dan lain sebagainya.
Cara pandang Indonesia adalah Sunda dan Muslim, tinggal kenangan.
Berganti menjadi Indonesia adalah benar-benar Bhineka Tunggal Ika, seperti kalimat yang tergantung di kaki lambang negara burung Garuda.
Hal yang masih membekas dan menempel kuat dalam diri sampai sekarang, sampai nanti…