The Untold Story: Kopassus untuk Indonesia
Jakarta, Beritasatu.com – Karena merasa dipecundangi, di Merauke, Irian Barat, Belanda mengumumkan, hadiah 500 gulden bagi yang berhasil menangkap Kapten Benny Moerdani yang tengah melaksanakan Operasi Naga. Tidak hanya itu saja! Saking kesalnya, Belanda menjadikan jaket Benny Moerdani yang berhasil disita dijadikan sasaran lempar pisau.
Kisah tahun 1960-an ini termuat dalam buku “KOPASSUS UNTUK INDONESIA” – Profesionalisme Prajurit Kopassus.” Buku terbitan tahun 2021 ini digagas oleh Danjen Kopassus Mayjen TNI Mohamad Hasan dan dituliskan oleh Iwan Santosa dan EA Natanegara. Tidak ada kata-kata “The Untold Story” dalam cover buku tersebut. Hanya saja kata The Untold Story keluar dari Mohamad Hasan ketika bertemu di Cijantung, Jakarta Timur, pada akhir pekan lalu (27/11/2021).
Narasumber buku ini, Taprof Bidang Ideologi dan Sosbud Lemhannas dan Alumnus PPSA XXI AM Putut Prabantoro menceritakan, Mohamad Hasan yang segera menjadi Pangdam Kodam Iskandar Muda (IM), Aceh ini menuturkan bahwa buku tersebut memuat kisah tak terceritakan para komandan, komandan jenderal (Danjen) dan juga para pahlawan Kopassus yang gugur di medan pertempuran. Kompilasi berbagai kisah-kisah heroik ini dikatakan akan menjadi jejak jelas yang kelak berguna bagi para penerus dan pasukannya.
“Kalian adik-adik dan anak-anaku adalah penerus kami para senior yang hidup bersamamu di masa kini yang sudah lewat. Kalian semua hidup di masa kini dan masa yang akan datang,” ungkap Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono di salah satu halaman. Dengan pesan ini, dapat dipahami ketika cerita “Kopassus Masa Depan” diletakkan di bagian awal buku ini.
Dua prajurit dari generasi milenial yakni Mayor Inf Alzaki dan Mayor Inf Fictor J Situmorang adalah generasi penerus Kopassus masa depan. Mayor Inf Alzaki meraih prestasi luar biasa dengan memperoleh penghargaan The Simon Interagency Writing Award saat menempuh pendidikan khusus di Command and General Staff College (CGSC) atau setara dengan Sekoad di Fort Leavenworth, Amerika Serikat. Selain Alzaki ada Mayor Inf Fictor J Situmorang yang menjalani pendidikan khusus yang amat berat sebagai prajurit ranger di Fort Benning, Amerika Serikat.
Penempatan kisah pasukan komando dari generasi milenial di awal buku ini seakan ingin menegaskan bahwa “Kopassus Akan Selalu Menjadi Bagian dari Solusi untuk Indonesia” masa kini dan masa depan. Oleh karenanya, regenerasi dan kaderisasi pasukan komando ini merupakan tradisi dari generasi ke generasi. Penghormatan, sebagai contoh, tidak hanya berlaku bagi junior kepada senior, tetapi juga dari senior kepada junior.
Saling menjaga kehormatan antara junior dan senior sudah diawali sejak lahirnya pasukan khusus. Ada kisah menarik digelar dalam buku ini tentang Kapten (Purn) Wardi. Atas penunjukan Kapten Sandihardjo pada tahun 1950-an, Wardi yang bintara (onder officier) diangkat sebagai salah satu dari 40 pelatih pasukan RPKAD. Pada waktu itu pasukan RPKAD memiliki peran penting meredam gerakan radikal dan separatis yang merongrong keutuhan NKRI. Setelah empat tahun menjadi pelatih, Wardi ingin juga menyandang brevet seperti anak didiknya. Oleh karena itu, ia pun mengikuti pendidikan dasar komando dan digembleng oleh pelatih muda dari angkatan kedua komando generasi LB Moerdani yakni Dading Kalbuadi dkk yang tidak lain adalah anak didiknya sendiri.
Tidak Hebat tetapi Terlatih
Kopassus akan selalu menjadil solusi Indonesia juga ditegaskan oleh Jenderal TNI (Pur) Agum Gumelar. Komandan Kopassus ke-13 (1993-1994) ini menegaskan, “Satuan Baret Merah harus menjadi satuan yang dibanggakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Jadilah prajurit Komando yang mencintai dan dicintai seluruh rakyat Indonesia.”
Komandan Kopassus ke-12, Letjen TNI (Purn) Tarub berujar, “Kami tidak hebat tetapi terlatih, Semangat ini harus dipertanggungjawabkan demi keberhasilan tugas.” Oleh karena itu, selain menang tanpa harus ada pertumpahan darah, menjadi pasukan Komando siap untuk diturunkan dalam operasi darat, laut dan udara. Mereka dilatih secara khusus dan ditempa latihan tempur di hutan dan gunung bersuhu ekstrem.
Menurut Letjen TNI (Pur) Sintong Panjaitan, Komandan Kopassus ke-10 (1985-1987), prajurit Kopassus harus jadi prajurit berdisiplin tinggi yang setia kepada negara. Tunduk dan taat kepada atasan dan pimpinan, pemimpin yang diakui negara. Jadi kita bisa bersatu, membuat negara ini lebih damai dan baik.”
Sejarah panjang nama besar Kopassus diawali dari usulan Letkol Ignatius Slamet Riyadi pada 1950 yang merasa perlu dibentuk pasukan khusus. Ide itu sejalan dengan cita-cita atasannya yakni Kolonel Alex Evert Kawilarang saat menjabat Panglima Tentara & Teritorium I/Sumatera. Hubungan erat keduanya mewujudkan gagasan pembentukan pasukan komando dengan ditandatangani surat keputusan pembentukan pasukan komando oleh Kolonel Kawilarang pada 16 April 1952 dan Mayor. Inf Mochammad Idjon Dhambi, eks perwira komando didikan Inggris dan sekaligus veteran Perang Dunia II sebagai komandan pertama.
Dengan berspiritkan “Lebih Baik Pulang Nama, daripada Gagal di Medan Laga”, berbagai medan pertempuran ditundukkan oleh pasukan khusus. Sebut saja, DI/TII, Aceh, PRRI, Permesta, Operasi Woyla, Operasi Tinombala, Operasi Simpang Angin dll. Danjen Kopassus Ke-15 (1995-1998), Letjen TNI (Pur) Prabowo Subianto mengatakan, “Keberhasilan yang telah dicapai selama ini harus dipupuk, dipelihara dan ditingkatkan dalam rangka menghadapi dinamika perkembangan situasi global, regional dan nasional yang bergulir dengan kompleksitas yang tinggi. Semua itu perlu diantisipasi dengan cepat, tepat, dan akurat dari setiap anggota Kopassus baik dalam hubungan perorangan maupun satuan. Komando!”
Memang tidak semua berjalan mulus, ada beberapa anggota Kopassus yang meninggal di medan yuda. Sebut saja, Mayjen TNI (Anumerta) IGP Danny karya Nugraha yang tewas di Papua, RA Fadillah, Mayor Inf. Tatang Sutresna, Kopda (anumerta) Suparlan, Lettu (anumerta) Ahmad Kirang dll, Sebagai tanda penghormatan, nama-nama mereka diabadikan di Kopassus dalam berbagai bentuk.
Nama harum Kopassus yang melegenda tidak hanya memberikan kebanggaan kepada para anggotanya, tetapi juga menjadi kesakralan bagi seluruh anggota termasuk purnawiranya. Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan, sebagaimana dikutip dalam buku ini, mengatakan, “Saya tidak akan pernah abuse my power, karena saya percaya Tuhan telah mengatur hidup ini. Selama masih sehat dan bisa mengabdi pada pemerintah mengabdilan. Sekarang ini saya tidak mau bikin cacat, karena saya tidak mau mencederai Korps Baret Merah ini. Saya tidak akan mengkhianati Korps Baret Merat. I promise you. Sesuaikan kata dan perbuatan.”
Buku setebal 333 halaman in diterbitkan oleh Red&White Publishing. Diawali dengan “Janji Prajurit Komando”, buku ini ditutup dengan pernyataan Mohamad Hasan sebagai penggagas buku dengan mengguratkan keyakinannya bahwa Bertempur Dengan Senjata Itu Hal Biasa Bagi Prajurit. Tetapi Bagaimana Memenangi Pertempuran Tanpa Menumpahkan Darah Dan Berhasil Mencapai Tujuan Operasi Adalah Ilmu Tertinggi.
Ada pesan yang sangat bijak yang diguratkan dalam buku ini, yakni hubungan harmonis antara alam dan pasukan komando. “Jangan Mencari Keuntungan Dari Alam, Kita Harus Bisa Mencari Manfaatnya. Alam Bisa Kita Pelihara Dan Salah Satunya Bisa Menjadi Sarana Edukasi,” tulis Hasan di halaman akhir buku ini. Penegasan ini untuk menyatakan bahwa Kopassus tidak hanya berperang melawan musuh tetapi juga menghidupkan alam dan lingkungan hidup sebagaimana dicontohkannya dalam salah satu cerita tentang “2018, Revitalisasi Telaga Saat.”
Buku ini dilengkapi dengan barcode agar pembaca dapat terlink langsung dengan sumber-sumber dari youtube. “Kopassus Untuk Indonesia” bukanlah buku strategi perang tetapi lebih bercerita tentang pengalaman para tokohnya. Satu pesan inti dari buku ini dan hal itu mengingatkan pada satu ungkapan heroik – If you don’t fight for what you want, then don’t cry for what you lose (Jika dirimu tidak mau bertempur untuk sesuatu yang kamu inginkan, maka jangan menangis jika kamu kehilangan).
https://www.beritasatu.com/nasional/862393/the-untold-story-kopassus-untuk-indonesia