Sepuluh tahun menjadi anggota pasukan pengamanan presiden (paspampres) membuat Dwi Agung Sutrisno memiliki bekal berhadapan dengan warga sipil. Pengalamannya itu ternyata sangat berguna saat sekarang menjadi komandan kodim.
PUSPITORINI DIAN H.
Usianya masih muda. Baru 39 tahun. Bisa jadi, dia menjadi komandan kodim (dandim) termuda di Indonesia. Tapi, bicara pengalaman, ternyata pemilik nama lengkap Dwi Agung Sutrisno ini cukup panjang.
Salah satunya adalah menjadi anggota pasukan pengamanan presiden (paspamres) selama sepuluh tahun. Ada tiga presiden yang pernah berada di bawah pengawasannya, yaitu Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Megawati, dan terakhir kali Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ketiganya, diakui suami dari Winda Kusuma Ningrum ini, memiliki kesan sendiri. “Masing-masing punya gaya kepemimpinan yang berbeda,” terang pria yang pernah menempuh sekolah tinggi ekonomi (STIE) setelah lulus akademi militer ini. Selama berdinas di paspampres sekitar sepuluh tahun, dia pun ikut merasakan keliling dunia.
Satu hal yang sama dari ketiga presiden itu adalah bahwa mereka presiden yang menjabat di zaman reformasi. “SOP (standar operasional prosedur, Red)-nya bagus, lebih sopan dan minimalkan kekerasan,” beber pria ramah ini. Sebagai anggota paspampres, mereka pun sering berhadapan langsung dengan warga sipil. Kalau mengingatkan warga pun harus dengan teguran halus.
Pengalamannya selama menjadi paspampres inilah yang diakui Agung menjadi bekal berarti ketika dirinya sudah menjabat sebagai dandim. Pria yang suka bercanda ini mudah sekali beradaptasi dengan lingkungan baru, khususnya berkenalan dengan tokoh-tokoh masyarakat. Selain itu, tetap memiliki kepekaan dalam menganalisa informasi dan data yang masuk sebelum akhirnya mengambil keputusan.
Ada pengalaman yang tak terlupakan saat menjadi paspampres SBY. Saat itu, Agung – begitu dia biasa dipanggil – sedang bertugas pengamanan di Upacara Negara 17 Agustus 2008. Tak disangka, satu sangkur milik anggota pasukan terjatuh di tengah lapangan.
Melihat itu, Agung yang berada di depan panggung VIP, langsung berlari ke lapangan dan memungut sangkur itu. “Sangkur itu bisa berbahaya kalau tidak diambil,” tuturnya.
Yang tidak disangka, ternyata banyak kamera yang melihat aksinya dan mengunggahnya di Youtube. Insiden tersebut ternyata menjadi viral. Wajah Agung pun menjadi tersorot dan cukup dikenal. “Saya kaget kok banyak yang tahu,” kenangnya seraya tertawa.
Kini, berada di Kediri, Agung mengaku terkenang masa kecilnya saat berada di Balikpapan. “Sini (Kediri, Red) tenang, masyarakatnya ramah,” ucap pria yang juga tumbuh besar di Tenggarong ini. Memang, sebagai anak tentara, kehidupannya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain.
Suasana tenang Kediri ini tentu saja berbeda jika dibandingkan Jakarta yang merupakan tempat dinas terakhirnya di Markas Besar Angkatan Darat (Mabes AD). Namanya ibukota, Agung merasakan benar tidak bisa menghindari macet. “Sekarang nyaman,” tuturnya.
Yang membuatnya semakin terkesan adalah saat baru sehari dilantik, Agung sudah ada tugas yang harus diembannya. Yaitu membantu evakuasi empat korban longsor yang tewas di Desa Sepawon, Kecamatan Plosoklaten. Kepiawaiannya mengendarai motor trail benar-benar membantunya menuju medan longsor yang sangat berat.
Tak lama setelah itu, lagi-lagi ada isu teror di Ploso, Kecamatan Mojo. Agung pun tak bisa tinggal diam dan ikut membantu membuat suasana kondusif dengan mendatangi sejumlah pondok pesantren di Kota dan Kabupaten Kediri. “Kebetulan saja, banyak pejabat baru di Kediri, jadi bisa sama-sama keliling sekaligus memperkenalkan diri,” jelasnya.
Kini, sekitar sepuluh hari berada di Kediri, pria yang meraih cumlaude saat menempuh pendidikan magister manajemen bencana di Universitas Pertahanan Jakarta mengaku ingin keliling ke Kota Tahu ini. Terutama merasakan sejumlah kulinernya. “Saya sudah coba tahu kediri, pecel dan durian lokal,” tuturnya. Satu yang membuatnya penasaran adalah nasi pecel tumpang. “Kapan-kapan saya ingin mencobanya,” pungkasnya.
(rk/*/die/JPR) https://www.jawapos.com/