Lebih Dekat dengan Kusworo Wibowo (TN 5), Kapolres Ganteng yang Responsif

Saat ada kabar mutasi para perwira Polri, banyak yang khawatir Kapolres Jember AKBP Kusworo Wibowo (TN 5) masuk daftar. Namun, semua menjadi lega ketika senyatanya tak ada nama Kusworo di daftar itu. Dia memang dicintai banyak warga Jember karena kiprahnya selama memimpin Polres Jember.
RADAR JEMBER.ID – Siapa yang tak kenal dengan AKBP Kusworo Wibowo. Sosok polisi yang ramah dan banyak menjadi idola. Perawakannya yang atletis dan sosok gantengnya kerap membuat warga tak tahan untuk tidak menatap lama-lama pria kelahiran Solo ini. Dia juga rendah hati. Enak diajak komunikasi.
Bisa jadi, karena itu pula, dia kerap menjadi sasaran swafoto. Tak hanya emak-emak dan remaja putri, tapi juga bapak- bapak. Lebih-lebih di acara nonformal.
Di Jember, Kusworo sebenarnya bukan sosok baru. Sebelum jadi kapolres, dia sudah menjabat sebagai Kasatreskrim Polres Jember pada 2010 silam. Satu-satunya kesan baginya ketika menjadi kasatreskrim kala itu yakni Jember memiliki karakteristik unik. Selama 11 bulan bertugas, setiap bulan selalu saja ada kasus pembunuhan.
 
Saat kembali ke Jember pada Desember 2016 silam, dia langsung mendapat kejutan kasus gesekan horizontal. Yakni pembakaran bendera ormas NU di Kecamatan Puger. “Pada 13 Desember 2016 ada perobekan bendera NU, saya sertijab 15 Desember,” jelasnya.
Beberapa tahun sebelumnya, gesekan semacam ini sampai harus berdarah-darah. Tak mau kejadian itu terulang, pria kelahiran 6 Februari 1979 itu lantas melakukan komunikasi dengan berbagai jajaran. Terutama tokoh yang bisa diajak komunikasi menenangkan massa. Pendekatan yang dia lakukan tentu berbeda dengan saat menjadi kasatreskrim yang lebih banyak menindak secara hukum. Sebagai Kapolres, dia lebih melakukan pendekatan soft approach, yakni dengan melakukan langkah pencegahan.
“Seusai sertijab tidak mulai dari nol. Langsung ke Puger dan merangkul tokoh agama dan kiai untuk menenangkan massa,” jelas suami Cut Laura Kusworo ini. Sebab, jika ada gesekan, maka akan menimbulkan dampak konsekuensi hukum yang baru. Utamanya untuk mempercayakan penanganan kasus itu kepada pihak kepolisian. Meskipun dirinya menjanjikan penanganan seminggu, namun sudah bisa diungkap oleh anak kedua dari empat bersaudara pasangan Sayid Rusli dan Dwi Suryawati ini dalam tiga hari. “Kuncinya adalah komunikasi dengan semua pihak,” tegasnya.
Hal inilah yang menurutnya bisa meredam dan mencegah kasus-kasus gesekan horizontal di Jember. Mulai dari Puger, kasus tambang Silo dan Gunung Manggar, kasus tambak Ambulu, kasus lembaga pendidikan Imam Syafii, dan banyak lagi.
Kusworo memang merupakan sosok yang rajin melakukan pendekatan kepada masyarakat dan seluruh tokoh. Tak jarang, dia merelakan waktu dan tenaga untuk mendatangi satu per satu tokoh agama, tokoh masyarakat, serta pihak yang berkonflik. Dirinya mencoba memberikan pemahaman tentang dampak dan kerugian jika berkonflik dengan sesama saudara sebangsa dan setanah air. Melakukan pendekatan dari hati ke hati dengan berdialog langsung dengan masyarakat. Aktivitas itu sering membuatnya harus pulang dini hari, bahkan subuh.
Hal itu tidak lain hanya untuk bisa meredam dan meminimalisasi ketegangan di masyarakat. Dengan demikian, selama ini gesekan antarmasyarakat selalu berhasil diredam dan bisa membuat seluruh masyarakat tenang.
 

AKBP Kusworo terima penghargaan dari Kapolri
 
Tetapi, diakui ayah dari Said Arkhan Bachtiar dan Syarifah Aurellia Annabel ini, konflik yang paling banyak menguras fisik dan mental aparat kepolisian adalah ketika laga Persebaya kontra Persigo Semeru FC Oktober 2017 silam. Lebih-lebih, beberapa waktu sebelumnya ada kasus pembunuhan yang dilakukan oknum Bonek terhadap anggota Persaudaraan Silat Setia Hati (PSHT). Hal ini membuat sejumlah pendekar dari berbagai daerah datang ke Jember memburu Bonekmania. Saat itu, santer isu bahwa nyawa dibayar dengan nyawa.
Situasi itu diakuinya sempat menimbulkan ketegangan hampir di seluruh Jember. Apalagi, banyak Bonek datang ke Jember yang dipanaskan oleh berita hoaks bahwa kedua belah pihak saling serang. Kusworo pun pontang-panting. Dia sibuk mendatangi seluruh guru silat dan tokoh PSHT di Jember serta diminta mencegah agar tidak terjadi konflik. Dia juga sempat mengumpulkan seluruh anggota PSHT. Pihaknya juga melakukan antisipasi sejak sehari sebelumnya melakukan razia masyarakat dari luar kota yang datang ke Jember. “Yang membawa senjata tajam kami amankan. Kami berhasil mengamankan ratusan sajam dari razia itu,” terangnya.
Tetapi, di hari H ada saja sejumlah kejadian penyerangan kepada Bonek. Mulai dari Ambulu, Balung, Jenggawah, dan sejumlah titik lainnya. Kusworo pun dibuat sibuk bukan main. Dengan tangan dinginnya, dia memimpin langsung pasukan yang juga dari jajaran polres samping untuk mengamankan wilayahnya dari konflik horizontal yang memakan korban.
Dirinya bahkan harus mengerahkan sampai 150 kendaraan yang dipinjam dari Pemkab Jember, polsek dan polres jajaran samping, serta bus sejumlah lembaga untuk bisa mengevakuasi Bonekmania yang ada di dalam stadion. “Itu pun masih belum muat, karena ada sekitar seribu Bonek yang masih di dalam stadion hingga malam hari dan tidak bisa keluar karena dikepung,” tegasnya.
Malam itu juga, dirinya melakukan diskresi, yakni meminta bantuan kepada sejumlah pengusaha untuk mengerahkan seluruh kendaraan bak terbuka guna mengangkut suporter. “Terpaksa saya lakukan untuk keselamatan semua pihak,” tegasnya. Akhirnya, dengan pengamanan pihaknya, ribuan Bonek bisa keluar dengan selamat dari Stadion Jember Sport Garden. Sungguh pengalaman yang sangat melelahkan, namun berujung kelegaan karena tidak sampai timbul korban jiwa.
Belum lagi, konflik lembaga pendidikan Imam Syafii. Dirinya layaknya pemimpin daerah yang turun langsung menemui sejumlah tokoh dari kedua belah pihak. Kusworo benar-benar melakukan roadshow ke semua tokoh di Jember. Konflik ini pun berakhir dengan kesepakatan damai seluruh pihak di Kantor Kementerian Agama Jember yang diinisiasi oleh pihaknya. Bukan kerja yang mudah, namun harus dilakukan dengan kerja keras.
Kusworo mengakui jika semua itu bisa diraih pihaknya karena dilakukan dengan komunikasi. “Ombak besar tidak akan terjadi jika tidak ada ombak-ombak kecil. Bahkan, tsunami sebelum gelombang pasang besar ada tanda-tandanya,” jelasnya. Dengan adanya deteksi dini dan melakukan komunikasi dengan masyarakat, maka akan bisa diketahui apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal inilah yang digunakan sebagai deteksi dini guna menentukan langkah tepat untuk menangani.
Meskipun, diakuinya, sesuai dengan standar PBB untuk jumlah polisi di Jember belum memenuhi. Sebab, jumlah polisi dan penduduk rasionya yang ideal 1:300. Tetapi di Jember yakni 1:1.100. Tetapi dengan pendekatan yang pas, semua itu tidak menjadi hambatan dan diyakini memberikan solusi terbaik di masyarakat. Apalagi, pihaknya juga memberikan akses informasi seluas-luasnya kepada masyarakat melalui media, yakni laman web resmi polresjember.id dan aktif di media sosial seperti Facebook, Instagram, dan sebagainya. (*)
 
Reporter : Rangga Mahardhika, Jumai
Fotografer : Jumai
Editor : MS Rasyid
Scroll to Top