Kisah Kolonel Inf Kristomei Sianturi (TN 2), Kepala Penerangan Kodam Jaya.

PERJALANAN hidup tak selamanya bisa direncanakan. Kenyataan inilah yang dialami oleh Kapendam Jaya/Jayakarta Kolonel Inf Kristomei Sianturi. Sejak masih seorang pelajar di Kota Bumi, Lampung Utara, tak terbersit menjadi seorang tentara. Sebaliknya, ia bercita-cita ingin menjadi seorang ahli teknik.

Cita-cita Kristomei ingin menjadi seorang insinyur, dengan alasan itulah ia ingin masuk ITB. Selepas lulus SMP, ia beringinan melanjutkan SMA Negeri 3 di Bandung. Tujuannya agar dekat dengan ITB sehingga mudah mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Tapi saat bersamaan ada penerimaan SMA Taruna Nusantara di Magelang, Jawa Tengah.

Dengan adanya beasiswa, di SMA Taruna Nusantara membuatnya melupakan masuk SMA Negeri 3 bandung. Kristomei berpikir meringankan beban orang tua yang harus mengirim uang untuk biaya, maka diputuskananya untuk melanjutkan pendidikan di SMA Taruna Nusantara Magelang.

Selama pendidikan di SMA Taruna Nusantara Magelang biaya pendidikan ditanggung pemerintah. “Uang sekolah gartis dan dapat uang saku. Sehingga biaya saya bisa digunakan untuk membiayai kakak dan dua adik saya lainnya. Masa itu saya menjadi siswa angkatan kedua di SMA Taruna Nusanatara Magelang, ” kata anak kedua, dari empat bersaudara ini saat berbicang di ruangan kerjanya.

Karena masuk SMA Taruna, Kristomei pun merasa gagah dan ia mulai mengenal dunia militer. “ketika di SMA semua kawan-kawan ingin jadi tentara. Kondisi itu membuat saya terbawa lingkungan tentara,” katanya.

Lepas ujian SMA Taruna Nusantara Magelang, Kristomei mengikuti jalur taruna Akmil dan juga mengikuti UMPTN dengan mengambil teknik dan lulus di teknik Undip, juga ikut STT Telkom dengan mengambil informatika dan juga lulus si STAN dengan mengambil bidang perpajakan.

“Saya tahu kalau lulus di empat kampus selah dinyatakan lulus sebagai taruna Akbari. Yang sama pengumumannya dengan Akbari dan UMPTN tahun 1994. Jadi, saya sudah di dalam Akmil sudah tidak bisa keluar lagi,” kenangnya.

Kalau pun keluar atau mundur dari Akabari maka harus memulangkan semua biaya pendidikan kepada pemerintah. Bila saja, sebelum masuk Akabri dirinya mengetahui lulus di UMPTN, mungkin ia tidak akan menjadi seorang tentara.

Akhirnya Kristomei, memutuskan jalur hidupnya mengikuti dunia militer. Setelah menjadi taruna Akbari dirinya masih membayangkan kuliah di Undip atau di dua tempat lainnya. Ia membayangkan betapa enaknya kuliah di kampus. Sementara di Akbari jalan lima langkah harus berlari. “Kalau saya dipulangkan, bisa meninggal dunia nanti bapak saya. Apa kata orang jika saya dipulangkan dari Akbari?” kenangnya.

Setelah 3 bulan di Akbari, mulailah dirinya sadar. Sebab, dia tak bisa lagi melirik ke belakang, maka dia harus menatap ke depan. “Dari pada setengah-setengah di Akbari, baiknya saya berprestasi dan mulai mencintai dunia militer,” kata peria kelahiran, 6 Mei 1976 ini meyakinkan.

TUGAS DI ACEH

Setelah resmi menjadi anggota militer dan ditugaskan kedua kalinya di Aceh, Kristomei nyaris gagal menikah. Tahun 2003 Kristomei dapat tugas pendidikan intelijen di Amerika selama 7 bulan. “Pulang dari Amerika rencananya saya akan menikah. Ternyata sampai di tanah air, pasukan sudah siap berangkat ke Aceh. Gengsi dong saya, masak ditinggal! Sebagai perwira saya harus ikut ke Aceh,” katanya meyakinkan.

Padahal waktu itu gedung untuk resepsi pernikahan sudah dibayar. Sebelum berangkat Kristomei menyembatkan diri menemui calon mertuananya. “Waktu itu, obsi ada dua. Nikah sekarang, atau nikah setelah pulang tugas. Tapi keputusannya, dipilih setelah pulang tugas. Rencananya pulang 13 bulan diperpanajang menjadi 15 bulan. Untunglah ada tsunami yang melanda Aceh. Operasi militer dirubah menjadi operasi kemanuisaan. Kemudian dilanjutkan ditandatangannya perjanjian damai di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Hasilnya, pasukan ditarik. Kalau tak ada perjanjian itu, mungkin saya nggak jadi menikah.” katanya.

Akhirnya selama dua minggu semua syarat-syarat pengajuan untuk menikah bagi anggota TNI dapat diperoleh Kristomei. “Akhirnya tanggal 15 September saya bisa nikah. Kalau tidak bisa gawat, sebab undangan sudah disebar, tapi orangnya belum pulang,” kenangnya.

Dari perjalanan karirinya, Kristomei memetik pelajaran yang sangat berharga, yakni apapun yang dikerjalan sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa. “Langah perjalanan hidup kita Tuhan sudah mengaturnya. Kalau kita tidak memegang satu jabatan, misalnya, itu lantaran Tuhan memberikan hal yang terbaik buat kita. Yang penting jangan terlalu takut dan jangan pula terlalu berani,” ucap lulusan Akademi Militer 1997 dan mahir dalam bidang Infanteri ini.

Menjadi anggota TNI, Kristomei tercatat menjadi lulusan terbaik dalam pendidikan Susopsgab TNI 2018 yang diadakan selama 7 minggu di Pusat Olah Yudha Sesko TNI, Bandung, Jawa Barat.

Sebelum menjabat Kapendam Jaya, ia menjabat Waasops Kasdivif 2/Kostrad. Kristomei Sianturi sempat menjabat Wadan Yonif Linud 328/Dirgahayu (2010-2012), Pamen Kostrad (Dik Seskoad) (2012), Pabandya Lat Ops Kostrad (2012-2013), Danyonif Linud 305/Tengkorak (2013-2014) Dandim 0424/Tanggamus (2014-2016), Waasops Kasdivif 2/Kostrad (2016-2017), Sespri Wakasad (2017) dan Kapendam Jaya (2017-Sekarang). (rizal/jo)

http://poskotanews.com/2019/03/09/kolonel-inf-kristomei-sianturi-awalnya-ingin-jadi-insinyur/

Scroll to Top