Kisah Dandim Bontang Letkol Arh Choirul Huda (TN 6)

­

Lebih Dekat dengan Dandim Letkol Arh Choirul Huda; Antara Televisi Hitam Putih dan Kekuatan Pikiran

Sejak duduk di bangku sekolah, Letkol Arh Choirul Huda selalumasuk jajaran 10 siswa terbaik di kelas. Bahkan selamamengenakan seragam putih biru, capaian itu konsisten dijaga. Pemuda desa itu selalu tercatat dalam posisi 3 besar siswaterbaik.

ADA hal yang membuat pemuda kelahiran Kudus itu kekeh menjaga capaiannya di bangku sekolah. Tidak seperti orang lain. Dia sadar bila keluarganya hidup terlampau sederhana. Ayahnya hanya seorang ahli reparasi televisi di sebuah desa kecil di Kudus. Tak banyak bisa diharapkan dari sana. Namun dia meyakini benar, gerbang untuk menyibak terang nasip keluarga adalah: menjadi manusia yang terdidik dan tercerahkan.

“Saya berpikir, nasib keluarga harus diubah. Ini memang tidak mudah. Tapi saya yakin bisa selama terus berusaha,” ujar Kodim0908/Btg Letkol Arh Choirul Huda

Ijazah SMP digenggamnya. Choirul muda hendak melanjutkan jenjang pendidikan lebih tingggi. Rencana dia masuk STM di Semarang, Jawa Tengah. Dia ingin memperoleh dan mengasah keahlian sejak dini. Agar bila lulus kelak, dia menguasai keahlian khusus. Sebagai modal memasuki bursa lapangan kerja, dan membawa arah kehidupan keluarganya lebih baik.

Tapi satu waktu, datang tawaran mengikuti seleksi masuk SMA Taruna Nusantara. Tawaran itu berasal dari seniornya di SMP dulu. Tanpa pikir panjang, Choirul mengambil kesempatan itu. Kendati dia mafhum benar, seleksi SMA Taruna Nusantara tidak akan dan tak pernah mudah. Predikat sekolah yang mentereng, membuat banyak siswa terbaik berlomba jadi bagian di dalamnya. Potensi gagal besar sekali. Tapi laiknya peribahasa lama “sekali layar terkembang, surut kita berpantang,” Choirul maju dengan keyakinan penuh.

Dewi fortuna memang berada di pihak mereka gigih berusaha. Dari banyak pelajar terbaik, dia diterima di sekolah yang terkenal akan konsep pembentukan karakter itu. Beasiswa penuh dari negara diterima. Pun fasilitas asrama seluruhnya ditanggung.

“Pilihan masuk SMA Taruna Nusantara salah satu motifnya karena ingin meringankan beban orangtua. Selain itu, kesuksesan juga lebih terjamin,” beber pria yang pernah menempuh pelatihan kemiliteran singkat di The Black Country, Inggris ini.

Memasuki 1998. Terjadi huru hara. Kondisi negara tidak stabil. Aksi demonstrasi untuk menumbangkan rezim orde baru merebak di beberapa kawasan di Indonesia. Periode itu juga merupakan tahun terakhir Choirul di SMA. Tepat sebelum lulus, ia mendapat tawaran seleksi masuk di 3 lembaga pendidikan berbeda. Yakni, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM). Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN). Terakhir, Akademi Militer (Akmil).

Pria kelahiran Kudus ini sempat mencoba peruntungan masuk UGM . Tahapan demi tahap seleksi dilalui. Tak mau berekspektasi berlebihan. Choirul hanya mengupayakan yang terbaik. Dan ternyata, dia berhasil tembus UGM. Tapi satu jadi soal. Pengumuman lulus di Unpad dibarengi panggilan seleksi tes masuk Akmil.

Kebimbangan kembali menggelayuti. Bila mengambil kesempatan di salah satu lembaga pendidikan tersebut, makadua opsi lain harus direlakan. Tidak bisa beriringan. Setelah menimbang-nimbang, utamanya soal biaya pendidikan. Dan meminta restu orangtua, Choirul bertekad mengikuti seleksi Akmil.

“Ya konsekuensinya, kalau tidak diterima di Akmil, saya enggak bisa kuliah. Karena seleksi tidak bisa bareng. Masuk di satu, tarik berkas dari satunya,” beber pria ramah senyum ini.

Tiba di tahap akhir seleksi Akmil, Choirul jatuh sakit. Ada sesuatu di tubuhnya yang membuatnya terancam tak lolos Akmil bila itu tak segera diobati. Tapi jadi soal, kondisi finansial keluarga tak sanggup mengakses layanan kesehatan. Walhasil, keluarga harus melego satu-satunya barang berharga di rumah. Yakni televisi hitam putih. Kebanggaan ayahnya. Harta keluarga yang tersisa.

“Rasanya saya miris sekali. Cuma bagaimana, tidak ada jalan lain saat itu,” ungkapnya.

Kata Choirul, keputusan menjejak karier sebagai prajurit TNI sangatlah berat. Ia tak bisa menghitung seberapa sering air mata nyaris tumpah.Terutama kala mengingat betapa besar pengorbanan keluarga. Belum lagi, kerja keras serta  peluh yang tak henti menetes. Tapi tak sejengkal pun sesal datang. Justru sebaliknya. Letkol Choirul dengan bangga menjadi bagian dariTNI AD.

“Seluruh pengobanan dan kerja terbayar tuntas. Alhamdulillah, orangtua dan saya sendiri bangga menjadi seorang prajurit TNI,” ujarnya bersemangat.

Sembari menjalani kariernya di militer, Choirul melanjutkan pendidikan formal di salah satu univeritas di Magelang pada 2006. Lepas studi rampung. Gelar sarjana ilmu sosial (S.Sos) tersemat di belakang namanya.

Tapi dasar Letkol Choirul yang haus ilmu. Memasuki 2015, diakembali melanjutkan studi ke jenjang strata dua (S-2). Dua program studi di dua lembaga pendidikan berbeda dibabatnya. Yakni studi ilmu Hubungan Internasional (HI) di Univeritas Pandjajaran Bandung dan Strategi Pertahanan Darat (SPD) di Univeritas Pertahanan.

Satu hal cukup menarik dari pribadi Letkol Choirul. Dia adalah seorang yang meyakini bahwa kekuatan pikiran dapat terwujud dalam kehidupan nyata. Pengetahuan itu dia adopsi dari buku karya Rhonda Byne berjudul ‘The Secret’.

Secara ringkas, dalam The Secret disebutkan, pikiran punya daya magnetis yang dapat mengaktifkan hukum tarik menarik. Ini tentu untuk menarik segala sesuatu yang ada di benak (pikiran) menjadi sebuah realitas dalam kehidupan.

“Entah itu sugesti atau karena apa, tapi saya cukup meyakini pikiran memang punya kekuatan kuat. Makanya jangan pernah berhenti punya cita-cita,” bebernya.

Sebabnya di beberapa titik di rumah, atau tempat-tempat yang kerap ia kunjungi, ia memasang gambar atau simbol yang mewakili sesuatu yang ingin diwujudkannya. Kata Choirul, cukup satu saja. Dengan demikian, pikiran bakal fokus untuk itu, ditopang raga yang terus berusaha.

Contohnya, kala dia masih jadi Kontingen Garuda Unifil di Lebanon dulu. Dia mengharapkan bisa ke tanah suci dengan memboyong sang istri. Selang beberapa waktu, keinginan itu terwujud. Ia menempuh perjalanan dari Lebanon, sementara istri terbang dari Jakarta. Kemudian mereka bertemu di tanah suci, Makkah. Berdoa kepada sang khalik bersama.

Hal lain lagi. Ketika Letkol Choirul sangat mengidamkan rumah. Di tempat dia biasa salat, ditempel gambar rumah yang sederhana namun indah. Lepas salat, dia pandangi gambar itu. Berdoa kepada Sang Khalik, dan berusaha, selekasnya bisa memiliki rumah. Walau sederhana. Tapi nyaman untuk keluarga kecilnya.

“Enggak lama setelah pulang dari Lebanon, saya ada tabungan sedikit. Beli rumah. Sederhana saja. Tapi sangat bersyukur,” bebernya.

PERJALANAN KARIR MILITER

Sejak lulus dari Akmil 2001 silam, total sudah 19 tahun LetkolChoirul menjalani karier di militer. Selama rentang tersebut, diatelah menjajaki banyak daerah penugasan. Pun dengan kondisi beraneka. Mulai Indonesia barat, hingga paling timur. Dari kota paling metropolit, hingga kawasan yang tengah menyembuhkan diri dari sisa-sisa kelompok separatisme. Pengalaman luar negeri pun telah dicecapnya.

Ada dua yang cukup membekas dalam memori Letkol Choirul dalam karir kemiliterannya ini. Pertama kala ia ditempatkan di Detasemen Arhanud Rudal 001 Aceh Utara pada 2007. Kala itu, Aceh tengah berusaha menyembuhkan diri dari sisa-sisa gerakan separatisme. Yang dimotori Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Ketika bertugas, luka akibat pergerakan GAM masih demikian kentara. Masih kerap ditemui friksi dalam kelompok masyarakat tertentu. Di sana tantangan mengemuka. Kata Lektol Choirul, posisi TNI harus imparsial– tidak memihak. Sukarnya ketikaTNI dihadapkan sesama warga Indonesia. Mereka harus berhati-hati. Dan mengedepankan soft diplomacy.

“Ini kan saudara kita juga (WNI). Beda ketika berhadapan dengan orang luar (WNA), kita bisa lebih agresif. Kalau ini tidak,” ujarnya.

Namun akhirnya, hal-hal tak diinginkan tidak terjadi. Aceh mampu pulih. Aceh mampu bangkit. Choirul menyudahi penugasan di sana jelang akhir 2010. Selama 3 tahun bertugas, kini ia mafhum benar bagaimana kondisi masyarakat yang mengalami– dan pasca– konflik sipil.

Pengalaman hebat lain terjadi kala dirinya menjadi delegasi Indonesia dalam misi PBB di Lebanon tahun 2017. Dia masuk dalam Kontingen Garuda United Nations Interim Force InLebanon (Unifil).

Ada 41 negara mengirim pasukan terbaiknya kala itu. Indonesia termasuk yang paling banyak. Yakni 1.297 prajurit. Seluruh prajurit dari 41 negara itu dibagi dalam beberapa satuan tugas. Sementara Letkol Choirul sempat ditunjuk jadi salah satu komandan pasukan. Disebut Civil Military Coordination Unit (Cimic).  

Satgas Cimic mengadopsi konsep pembinaan teritorial. Dengan konsep itu, dirinya mesti terjun langsung ke masyarakat Lebanon. Bersua dengan mereka. Yang kala itu sedang luka. Dikoyak perang sipil. Cimic bertugas untuk membantu sipilmengatasi kesulitan mereka sehari-hari.

Seperti mencari kebutuhan air sehari-hari. Memasangkan instalasi listrik agar kampung-kampung yang berada di perbukitan gersang itu tak gulita. Dengan cara-cara halus seperti ini, diharapkan mendorong kepekaan warga. Agar sama-sama menyudahi konflik. Serta mendorong tercapaianya perdamaian di tanah Lebanon.

Dalam masa penugasan itu. Tak jarang Lektol Choirul mendengar desing peluru mengudara. Menyaksikan ranjau-ranjau aktif di sebar di beberapa titik. Ada suara tangis anak-anak. Ketakutan para ibu. Dan harapan lelaki Lebanon agar kehidupan mendatang lebih baik.

“Kita harus benar-benar bersyukur. Negara kita Indonesia sudah tidak terjadi konflik. Tanahnya pun subur. Tidak seperti di Lebanon kala itu,” tandasnya. (edw)

Reporter: Fitri Wahyuningsih – https://bontangpost.id/lebih-dekat-dengan-dandim-letkol-arh-choirul-huda-antara-televisi-hitam-putih-dan-kekuatan-pikiran

 

Scroll to Top