Kamis, 23 Juni 2016 silam, Presiden Joko Widodo memimpin rapat kabinet di atas Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Imam Bonjol yang berlayar di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Foto Presiden mengenakan jaket bomber di depan peluncur roket antikapal selam KRI Imam Bonjol menghiasi media lokal dan internasional.
Foto-foto tersebut dilengkapi judul tentang sinyal ketegasan Presiden Joko Widodo terhadap China yang sempat mengklaim sebagian perairan Natuna sebagai bagian dari wilayah penangkapan ikan tradisional mereka. Kebetulan beberapa hari sebelum Presiden menggelar rapat kabinet di atas KRI Imam Bonjol, kapal perang ini menangkap kapal ikan China. Penangkapan ini sempat dibayangi insiden provokasi oleh kapal penjaga pantai China yang menganggap kapal nelayan mereka tak melanggar wilayah kedaulatan Indonesia.
Tak hanya soal insiden kapal ikan negara asing yang mencuri ikan di wilayah perairan Natuna, eskalasi konflik sejumlah negara di Laut China Selatan yang berada persis di utara Natuna membuat Indonesia juga ikut bersiaga. Sengketa kedaulatan di Laut China Selatan antara China dan Vietnam, Filipina, Thailand, dan Malaysia, membuat pemerintah memutuskan agar TNI membangun satuan terintegrasi di Natuna.
Satuan tersebut terdiri atas kekuatan matra darat, yaitu Batalyon Komposit yang diperkuat Kompi Zeni Tempur Baterai Rudal Artileri Pertahanan Udara dan Baterai Artileri Medan. Sementara matra laut, selain dilengkapi dengan fasilitas labuh dengan kedalaman belasan meter untuk mendukung operasional kapal-kapal perang, juga ada Kompi Komposit Marinir. Untuk matra udara, selain radar pasif di utara dan radar di selatan, juga ada pangkalan udara yang dilengkapi hanggar integratif dan hanggar untuk Skuadron Unmanned Aerial Vehicle (UAV) (Kompas, 6/1).
Dengan satuan terintegrasi, sekarang setiap tentara berpeluang bertugas menjaga wilayah terdepan Indonesia yang rawan eskalasi konflik, Natuna. Tugas ini tak jarang menjauhkan mereka dari keluarga. Inilah sekelumit kisah mereka yang berjauhan dengan keluarga demi pengabdian dan tugas negara.
Natuna adalah pulau terdepan Indonesia yang berjarak 562 kilometer dari Tanjung Pinang, ibu kota Kepulauan Riau. Untuk sampai ke Natuna, penerbangan dan transportasi laut menjadi andalan. Secara geografis, laut Natuna berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, Vietnam, Kamboja, dan Malaysia.
Tidak semua kawasan di daratan Natuna mendapatkan sinyal internet dan aliran listrik. Tidak semua wilayah pula sudah beraspal.
Contohnya adalah Kampung Segeram yang pernah tersentuh TNI Manunggal Masuk Desa dengan tahun anggaran 2017. Sentuhan itu berupa pelebaran jalan tanah menjadi sekitar 2 meter yang cukup dilalui untuk satu mobil saja.
Jalan tanah yang berpadu dengan medan berpasir itu merupakan satu-satunya akses darat ke Kampung Segeram, wilayah yang juga tak mendapatkan aliran listrik maupun sinyal komunikasi. Kanan-kiri jalan tersebut berupa hutan. Tak ada penerangan sama sekali di sana.
Pada April 2017, perintah mendadak untuk pindah ke Natuna, Kepulauan Riau, diterima oleh Wakil Komandan Batalyon Komposit 1-Gardapati (Mayor Arh) Alse Ariyanto sekitar pukul 19.30. Perintah itu diterimanya melalui pesan Whatsapp saat dia tengah berada di Malang, Jawa Timur. Kurang dari 12 jam, dia harus menyiapkan kepindahannya dan mesti berada di Medan, Sumatera Utara, pada keesokan paginya. Medan menjadi titik berangkatnya ke Natuna.
Sesampainya di Natuna, dia baru mau mengetahui istrinya tengah mengandung putra ketiga. ”Istri saya sengaja baru memberitahu begitu saya sudah di Natuna. Dia tidak ingin menambah pikiran saya di tengah kepindahan ini,” katanya saat ditemui di Natuna, Minggu (22/9/2019).
Hubungan jarak jauh alias LDR antara Natuna-Malang pun menghampiri rumah tangga Alse. Dia bercerita, awal kedatangannya ke Natuna ”disambut” oleh ketiadaan sinyal telepon untuk berkomunikasi.
Istri saya sengaja baru memberitahu begitu saya sudah di Natuna. Dia tidak ingin menambah pikiran saya di tengah kepindahan ini.
Alhasil, Alse mesti bersahabat dengan perjalanan 20-30 menit untuk pergi ke pusat kota pada malam hari yang berjarak sekitar 15 kilometer (km). Di sana, dia bisa mendapatkan sinyal untuk bercakap dengan istri dan anak-anaknya. Mendengarkan suara mereka melalui telepon genggam menjadi kenikmatan tiada tara.
Sayangnya, nikmat itu tak bisa dirasakan setiap hari. Pada saat itu, listrik padam setiap Rabu, Sabtu, dan Minggu. Akibatnya, sinyal telepon pun ikut ”beristirahat”.