Ekonom Senior Eric Alexander Sugandi (TN 3) menilai, masih minimnya realisasi insentif korporasi dan di UMKM karena banyak pengusaha memang belum banyak menggunakan

Ekonom Senior Eric Alexander Sugandi (TN 3) menilai, masih minimnya realisasi insentif korporasi dan di UMKM karena banyak pengusaha memang belum banyak menggunakan

Jul 08, 2020By admin SMATN

Pengusaha Tak Agresif Berinvestasi Karena Demand Side Turun

Tri Listyarini/Thomas Harefa, Senin, 22 Juni 2020 | 13:33 WIB

JAKARTA, investor.id – Peneliti Ekonomi Senior Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan Republik Indonesia Eric Alexander Sugandi menilai, masih minimnya realisasi insentif korporasi dan di UMKM karena banyak pengusaha memang belum banyak menggunakan.

“Para pengusaha tidak agresif berinvestasi jika demand terhadap produk-produk mereka turun atau tumbuh lambat,” kata dia.

Dengan demikian, jelas Eric, masalah utamanya tetap di demand side dari ekonomi, yaitu konsumsi rumah tangga yang melemah. Sedangkan berkaitan dengan minimnya realisasi stimulus kesehatan, perlindungan sosial, dan stimulus sektoral, jelas dia, kemungkinan karena masalah procedural dan keakuratan database.

“Memang perlu ada pemangkasan prosedur, termasuk simplifikasi dokumen dan sebagainya. Tapi jangan sampai juga mengendurkan pengawasan supaya dananya bisa tepat sasaran dan tidak dikorupsi oleh oknum pelaksana. Lalu, database kependudukan di Indonesia mesti terintegrasi dan selalu di-update,” kata Eric.

Dia juga menilai, untuk insentif dunia usaha yang perlu diperbaiki adalah daya beli masyarakat.

“Oleh karena itu, saya sering sampaikan agar pemerintah menjaga daya beli rumah tangga, termasuk dengan memberikan bantuan seperti bantuan langsung tunai (BLT),” kata dia.

Eric menambahkan, untuk program- program yang tidak efektif dan bermasalah lebih baik dihentikan, dan dananya dialihkan untuk BLT atau program lain yang lebih efektif untuk memperbaiki daya beli.

Di sisi lain, Department Head Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani menilai perilaku konsumen pada tatanan normal baru (new normal) akan kembali pada kebutuhan dasar seperti makanan dan minuman.

Sedangkan kebutuhan untuk properti, kendaraan, hingga pariwisata akan ditunda sehingga kredit konsumer dari sektor-sektor tersebut pada tahun ini sulit pulih. Perilaku masyarakat akan kembali pada kebutuhan dasar, karena masih tidak yakin apakah masih akan memilikipendapatan atau tidak, apakah usahanya akan bangkrut atau tidak, jadi lebih memilih menunda pembelian barang yang tidak dibutuhkan.

“Seperti properti, mobil dan motor, elektronik itu ditunda dulu, mobil itu penurunannya lebih dari 90% dari sebelumnya penjualan 95 ribu, pada April hanya 3.500 yang terjual. Apalagi properti seperti kredit pemilikan rumah (KPR), orang akan menunda beli properti,” jelas Dendi.

Selain properti dan otomotif, Dendi juga menyebut sektor transportasi dan pariwisata mengalami kontraksi akibat pandemi Covid-19. Penurunan tersebut terjadi akibat ditutupnya sejumlah moda transportasi dan juga menurunnya konsumen yang melakukan pariwisata.

“Penduduk Asia Pasifik cenderung lebih yakin untuk kembali traveling setelah lebih dari satu tahun masa pandemi ini. Ditinjau dari insentif yang diperlukan, diskon tiket transportasi sebesar 25% adalah yang paling diharapkan oleh masyarakat,” ungkap Dendi.

Sektor yang membaik pada tahap awal recovery akan terfokus pada kebutuhan dasar. Perlahan, jelas Dendi, seiring perbaikan ekonomi, ada prospek ekonomi di sektor manufaktur seperti leisure and travelling, elektronik, otomotif akan recover, sektor properti akan recover pada tahap berikutnya.

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat 100 bank telah mengimplementasikan restrukturisasi kredit sebesar Rp 634,62 triliun kepada 6,15 juta debitur sampai dengan 8 Juni 2020.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, dari jumlah tersebut, sebanyak 5,13 juta debitur merupakan segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan baki debet kredit yang direstrukturisasi sebesar Rp 292,87 triliun per 8 Juni 2020.

Menurut dia, realisasi dari 100 bank yang telah melakukan restrukturisasi kredit debiturnya yang terdampak Covid-19 untuk segmen non-UMKM sebanyak 1,03 juta debitur dengan baki debet sebesar Rp 341,74 triliun.

“Kita lihat potensi debitur yang mengajukan restrukturisasi itu, per Juni ada 102 bank yang restrukturisasi kepada 15,74 juta debitur dan baki debetnya mencapai Rp 1.349,39 triliun,” papar Heru. Jika dirinci, potensi restrukturisasi yang dilakukan untuk segmen UMKM sebanyak 12,82 juta debitur dengan baki debet mencapai Rp 560,57 triliun.

Sedangkan untuk segmen non-UMKM potensinya sebanyak 2,92 juta debitur dengan nilai Rp 788,82 triliun. Dengan demikian, realisasi restrukturisasi kredit yang dilakukan oleh 100 bank hingga 8 Juni 2020 baru 47,03% dari potensi yang akan direstrukturisasi. Untuk segmen UMKM, sudah 52,25% yang sudah direstrukturisasi dari potensi yang dihitung, sementara segmen non-UMKM baru 43,32% dari potensinya.

Pihaknya juga mengingatkan supaya perbankan tetap berhati-hati dan tetap melihat kondisi debitur sebelum melakukan restrukturisasi kredit. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah moral hazard atau adanya free rider.

“Dari otoritas juga kita terus pantau supaya tidak ada penumpang gelap yang memanfaatkan, makanya kita post audit,” jelas Heru.

Menurut dia, OJK melakukan evaluasi dan memonitor kondisi industri perbankan saat ini dan ke depan. Apabila dampak dari Covid-19 akan berkelanjutan terhadap industry perbankan, OJK tidak segan untuk memperpanjang Peraturan OJK (POJK) Nomor 11/2020 mengenai restrukturisasi kredit yang berlaku sampai 31 Maret 2021.

Heru mengatakan, perbankan harus memperhatikan risiko kredit, risiko likuiditas, dan risiko pasar.

Menurut dia, ketiga risiko tersebut menjadi penting saat ini untuk dimitigasi, terlebih jika POJK Nomor 11 sudah berakhir pada Maret 2021.

“Supaya kalau keran stimulus ditutup, perbankan tidak kaget dan bisa antisipasi dampak lanjutannya,” ucap Heru.

Sementara itu, Head of Equity Research, Strategy and Consumer PT Mandiri Sekuritas Adrian Joezer mengungkapkan, pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) akan berdampak pada restrukturisasi kredit yang mulai melambat. Pasalnya, sejumlah sektor bisa kembali menjalankan usahanya.

“PSBB dilonggarkan itu membuat restrukturisasi bisa mengecil juga, karena ekonomi mulai jalan lagi. Pada Juni ini mulai ada transaksi lagi, jadi speed restrukturisasi akan melambat,” tutur Adrian.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menuturkan, hingga saat ini pemerintah dan juga regulator telah memberikan dukungan kepada sektor perbankan untuk memitigasi dampak pandemi Covid-19.

Pihaknya juga mengaku fokus pada restrukturisasi kredit debitur terdampak Covid-19 sehingga tidak terlalu fokus pada profitabilitas, melainkan lebih fokus pada kecukupan likuiditas.

“Sebagai perbankan, kami harus jaga likuiditas, lupakan dulu profitability, yang penting likuiditas cukup. Kalau profit, pasti profit bank itu turun, tapi kalau likuiditas itu bagaikan darah, policy dari regulator itu untuk menjaga aliran darah perbankan,” jelas Jahja.

Menurut dia, kebijakan dari Bank Indonesia (BI) sudah sangat mendukung perbankan dalam memenuhi kecukupan likuiditasnya. Sedangkan kebijakan OJK untuk rentabilitas perbankan, serta kebijakan fiskal dari Kementerian Keuangan membantu dunia usaha.

(nid/nov/try/ark/ant/jn)
Sumber : Investor Daily Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul "Pengusaha Tak Agresif Berinvestasi Karena Demand Side Turun" Penulis: Tri Listyarini/Thomas Harefa Read more at: http://brt.st/6Dcs

Related post

Top