Afriyanti Sumboja (TN 13) raih penghargaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Young Scientist Award (LYSA) 2020

KOMPAS.com – Melalui surat elektronik, Afriyanti Sumboja selaku peraih penghargaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Young Scientist Award (LYSA) 2020 menceritakan kisahnya kembali ke Indonesia untuk memajukan pendidikan dan penelitian. “Alasan terbesar kembali ke Indonesia karena kangen dan saya memang ingin berkontribusi dalam memajukan pendidikan dan penelitian di Indonesia,” jelas Afriyanti pada Senin (23/11/2020) kepada Kompas.com.

Setelah tiga belas tahun Afriyanti berada di Singapura untuk belajar dan menjadi peneliti, ia pun kembali ke Indonesia sekaligus memutuskan untuk menjadi salah satu pendidik Institut Teknologi Bandung ( ITB). Pasalnya, ia pernah memiliki pengalaman membimbing mahasiswa magang selama kurang lebih empat tahun bekerja sebagai peneliti di Singapura.

Afriyanti pun merasa puas bila mahasiswa magang dapat melakukan proyek penelitian dengan baik. Akhirnya, koleganya menyarankan Afriyanti untuk bekerja di perguruan tinggi. “Kolega saya pun merasa seperti itu dan bahkan ada yang menyarankan bahwa saya lebih cocok bekerja di kampus, di mana ada kesempatan untuk mengajar, membimbing mahasiswa, dan juga meniliti,” ungkapnya. Meski sejak kecil tidak memiliki cita-cita menjadi seorang dosen, tetapi Afriyanti pun memutuskan untuk mencoba bergabung dengan ITB.

Kini Afriyanti menjadi dosen di Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB dan ia suka untuk melakukan pekerjannya setiap hari. “Ternyata setelah dua tahun menjadi pengajar sekaligus peneliti di ITB, saya suka dengan apa yang saya kerjakan setiap harinya. Bagi saya, apapun jenis pekerjaannya, pekerjaan haruslah sesuatu yang kita suka dan punya passion dalam mengerjakannya,” cerita Afriyanti.

Berkat pengalaman dan prestasinya di bidang ilmu pengetahuan serta teknologi, Afriyanti menjadi peneliti muda ke-5 (di bawah 40 tahun) yang memeroleh penghargaan nasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ( LIPI) yang bernama LIPI Young Scientis Award (LYSA). Tips berprestasi untuk peneliti muda Sejak SMA, Afriyanti mulai tertarik untuk mengambil program studi Teknik Material di Nanyang Technological University ( NTU), Singapura.

Berdasarkan pemeringkatan kampus yang dilakukan oleh Quacquarelli Symonds (QS), NTU berada pada peringkat 13 dari 1.000 perguruan tinggi di dunia. Di Singapura sendiri, NTU merupakan kampus kedua terbaik setelah National University of Singapore (NUS). Setelah tiga tahun berkuliah di NTU, ketertarikan serta rasa keingintahuan Afriyanti semakin membesar. Ia pun melihat bidang keilmuan teknik material memiliki kemungkinan tidak terbatas. 

“Material, baik dalam bentuk logam, keramik, polimer, atau kompositnya, hampir selalu kita gunakan dalam segala aspek kehidupan kita. Kita bisa membuat benda apa saja dan dengan fungsi apa saja, jika kita tahu bagaimana mendesain dan memilih material yang cocok, atau membuat dan merekayasa material sehingga bisa didapatkan fungsi yang kita inginkan,” jelasnya. Sejak berkuliah, ia telah menerima 9 penghargaan dan menghasilkan 43 makalah peer-review atau peninjauan sejawat dengan 3856 kutipan. Untuk menjadi peneliti yang berprestasi seperti Afriyanti, ia memberikan dua tips untuk siswa dan mahasiswa.

“Tips dari saya, yang pertama, banyak membaca, karena membaca dapat membuka wawasan. Ketika membaca, bacalah dengan kritis, jangan langsung percaya pada semua yang kita baca, dan bacalah dari sumber-sumber yang terpercaya,” kata Afriyanti. Kiat yang kedua adalah jadilah siswa dan mahasiswa yang banyak bertanya serta berdiskusi untuk membantu peneliti memformulasikan ide-ide kreatif dan inovatif.

Mimpi bangun laboratorium standar internasional Bagi Alfriyanti, salah satu tantangan saat ia hendak meneliti di Indonesia ada pada kondisi infrastruktur yang masih terbatas. Maka dari itu, ia bermimpi agar perguruan tinggi di Indonesia dapat memiliki laboratorium dengan peralatan yang lengkap dan berstandar internasional. Tujuannya agar mahasiswa dan peneliti Indonesia dapat lebih optimal dalam mengerjakan penelitiannya.

“Selain itu, dengan adanya laboratorium berstandar internasional ini, mahasiswa dari luar negeri pun akan tertarik untuk melakukan magang riset di kampus kita,” ujarnya melalui surat elektronik. Sebagai upaya merealisasikan hal ini di lingkungannya, Afriyanti mengusahakan untuk menggunakan dana dari penerimaan proposal untuk membeli alat penelitian berstandar internasional.

Namun untuk skala Indonesia, ia mengaku bahwa belum memiliki rencana konkret karena masih perlu banyak belajar. “Untuk skala Indonesia saya belum punya rencana konkret seperti apa karena ini cukup kompleks, melibatkan banyak pihak, dan saya baru dua tahun di Indonesia, jadi masih perlu banyak belajar,” ungkap Afriyanti. Selain infrastruktur yang masih terbatas, menurut Afriyanti, tantangan terbesar meneliti llainnya adalah bagaimana memotivasi diri untuk tetap produktif, terlebih di masa pandemi Covid-19.

“Apalagi dalam masa-masa pandemi seperti sekarang ini, peneliti harus bisa kreatif agar tetap produktif. Saran dari saya, bisa dengan mendedikasikan dan mengosongkan jadwal tertentu untuk fokus pada kegiatan penelitian. Misalnya, senin itu adalah jadwal menulis paper atau jumat adalah jadwal diskusi dengan mahasiswa, dan sebagainya,” jelasnya.

https://www.kompas.com/edu/read/2020/11/23/153256071/peraih-lysa-2020-kembali-ke-indonesia-setelah-13-tahun-ini-alasannya

Penulis : Elisabeth Diandra Sandi
Editor : Yohanes Enggar Harususilo

Scroll to Top