Votivia Mardinna (TN 12), Menjelaskan 4 Langkah Mitigasi Disrupsi Digital

Persaingan di dunia perbankan semakin ketat. Bukan saja persaingan antarbank, melainkan juga persaingan dalam pemanfaatan teknologi keuangan (fintech) yang menawarkan berbagai solusi keuangan.

Kini, industri keuangan pun berubah dengan makin berperannya digital di dalamnya, seperti pemanfaatan Application Programming Interface (API) Bank Mandiri, artificial intelligence (AI), ataupun machine learning. Dalam jangka panjang, tentu terjadi perubahan dalam hal skill gap antara kemampuan leadership dalam mengawal perubahan dan lemahnya pemahaman teknologi.

Karena itu, Bank Mandiri telah melakukan mitigasi bagaimana dampak perubahan model bisnis pada tenaga kerja. Di antaranya, dampak pengalihan transaksi cabang ke platform digital, dampak pengembangan analisis keputusan dalam kredit, juga dampak perubahan strategi pemasaran, dari yang semula membutuhkan banyak orang ke digital marketing.

Votivia Mardinna, VP Human Capital Bank Mandiri, menjelaskan, ada empat langkah yang sudah dilakukannya. Yaitu, menganalisis karakter fungsi-fungsi setiap pekerjaan, menganalisis fungsi tersebut terhadap value driver perusahaan, mengidentifikasi alternatif perbaikan proses yang bisa dilakukan sehingga pihaknya bisa tahu setiap perubahan fungsi di perusahaan yang sekarang ada disesuaikan dengan kebutuhan jangka panjang, serta menerapkan strategi workforce planning sebagai perencanaan transisi workforce hari ini ke kebutuhan workforce di masa mendatang.

 Dalam mempersiapkan masa depan human capital Bank Mandiri yang sesuai dengan kebutuhan masa depan industri ini, ada lima strategi yang penting dilakukan untuk meminimalkan dampak digitalisasi. Pertama, membangun perubahan mindset sejak awal. Kedua, mengatasi gap kapabilitas terkait kebutuhan di masa mendatang.

Selanjutnya, ketiga, meredefinisi karakteristik leadership yang sesuai untuk mengawal perubahan digitalisasi. Keempat, menyiapkan strategi flexible workfoce dalam upaya menjaga keberlangsungan perusahaan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Kelima, merestrukturisasi organisasi yang mengatur bagaimana perusahaan bisa menyesuaikan diri dalam jangka waktu panjang.

Di tengah perubahan yang sangat cepat akibat digitalisasi, kegagalan akan terjadi jika tidak dimulai dari pola pikir people-nya. Organisasi yang mengadopsi growth mindset adalah organisasi yang agile. “Memahami ini, yang harus kami sentuh dalam mempersiapkan diri di human capital dalam menghadapi perubahan akibat digitalisasi adalah kulturnya,” kata Votivia, alumni Jurusan Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada ini.

Bank Mandiri memiliki pengalaman yang panjang dalam menyikapi perubahan, mulai dari merger empat legacy bank. Sempat hampir terpuruk akibat masalah integritas pada 2005, bank ini pun melakukan perubahan yang dimulai dari core values.

Di 2017, ketika terjadi pertumbuhan tinggi di Bank Mandiri yang berdampak pada lemahnya unit kerja di perusahaan, bank ini mengubah kultur dengan tema “Satu Hati Satu Mandiri”. Dan, mendefinisikan Bank Mandiri sebagai bank yang tangguh serta siap menghadapi tantangan di masa mendatang.

“Dari pengalaman panjang inilah, penting sekali kami belajar untuk mendefinisikan norma berkaitan dengan budaya jika kami mau mengawal perubahan di organisasi,” kata Votivia yang pernah berkarier di Accenture pada 2008 ini.

Bank Mandiri juga tidak lupa membangun hard skills yang bisa menunjang perubahan yang didorong oleh digitalisasi. Berbagai kompetensi yang dibutuhkan di era digitalisasi pun dibangun, antara lain human center design, data analytics, komunikasi, dan kemampuan organisasi untuk agile.

Pihaknya kemudian melakukan assessment terhadap potensi kemampuan karyawan di organisasi untuk mengetahui kerentanan organisasi terhadap disrupsi dan agar prosesnya jangan sampai meresahkan. Bicara mengenai assessment, kerap timbul keresahan mengapa ini dilakukan. Metode gamification bisa dilakukan untuk memetakan potensi setiap pegawai terhadap berbagai skill yang berbeda untuk dikembangkan demi keperluan jangka panjang.

Bank Mandiri menjalankan technical assessment sejak 2019, terutama dalam core capabilities pada fungsi-fungsi yang ada. Satu hal yang perlu dilakukan adalah mengembangkan skill yang berbeda yang sesuai dengan kebutuhan jangka panjang.

Dengan memahami gap kapabilitas tersebut, pihaknya bisa menyiapkan program peningkatan dan pengembangan skill yang sesuai dengan potensi tiap-tiap individu. “Kami lalu mulai mendorong career shifting melalui career disruption program untuk menfasilitasi pemindahan pegawai,” ujar Votivia.

Bank Mandiri juga perlu mengubah pendekatan leadership. Maka, sejak 2019 mengukur seorang leader bukan sekadar dari ukuran jangka pendek soal kinerjanya saja, tapi juga potensi leadership-nya di masa depan. Pihaknya mulai melihat bagaimana seorang leader menerapkan core values dan karakteristik leadership-nya dalam menjalankan proses mencapai target. Karena itu, dalam penetapan talenta terbaik, pihaknya mengukur kedua hal tersebut, bahkan lebih luas lagi, seperti intellectual agility, emotional agility, dan growth mindset-nya.

Dalam hal mempersiapkan dan mengembangkan flexibility workforce, kajian ini sebenarnya mulai dilakukan pada 2016. Diawali dengan memetakan pekerjaan apa saja yang rentan terhadap disrupsi digital, salah satunya pekerjaan klerikal. Pihaknya menemukan data bahwa 74% pekerjaan klerikal paling rentan terhadap disrupsi digital, dan ternyata ada 20 ribu pegawai ?dari total 38 ribu pegawai Bank Mandiri? yang bekerja di bagian ini.

Pihaknya pun memitigasi massive layoff. Memang masih jauh, tetapi sudah dipersiapkan dari sekarang. Kebijakan yang telah dilakukan di antaranya menciptakan zero hiring growth, memindah talenta, serta mendorong shifting karier.

Yang menarik, sejak 2016 bank ini menerapkan pembatasan usia pada jabatan tertentu. Ini mendorong pemindahan pekerjaan dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi dalam upaya memitigasi dampak digitalisasi jangka panjang. (*)

Dede Suryadi dan Herning Banirestu
swa.co.id

Scroll to Top